Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 24 Agustus 2012

 
SINOPSIS HASIL PENELITIAN
 
ANALISIS KUALITAS LAYANAN PERGURUAN TINGGI
DAN HARAPAN MAHASISWA SETELAH MENYELESAIKAN STUDI
DI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

ANALYSES OF THE UNIVERSITY SERVICES QUALITY
AND STUDENTS’ EXPECTATIONS IN  THE POST-COMPLETION OF THEIR STUDY AT MAKASSAR STATE UNIVERSITY


Triyanto Pristiwaluyo[1]

Abstract

This research aims at investigating academic service quality and students’ expectations in the post-completion of their study at the Makassar State University (UNM). Using purposive sampling, 547 students of 6 faculties involved as sample in this study. They were enrolled in academic year of 2003/2004. Data were complied through questionnaires and analyzed by using descriptive statistic, factor analyses, Bivariate correlation, one-way ANOVA and Univariate ANOVA. The results of the study revealed the following findings. First, the quality of academic services was unsatisfactory, especially in the service reliability, responsiveness, service assurance, and support facility availability. Secondly, the dimensions of reliability, responsiveness, assurance. empathy, and availability had significant positive relationship with the university service quality. Meanwhile, the service quality had a significant positive relationship with the students’ expectations in the post-completion of their course study. Thirdly, there were significant differences among the six faculties in terms of reliability, availability, and attitudes of the lecturers, and administration staff in providing services, responses, and in ensuring services. Fourthly, service quality, faculty, and the interaction of the two factors very significantly affect the academic service quality at the Makassar State University



[1] Dosen Jurusan PLB FIP Universitas Negeri Makassar
  Sinopsis ini merupakan rangkuman dari laporan penelitian yang disiapkan sebagai disertasi untuk meraih gelar doktor dalam bidang  penelitian dan evaluasi pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.

Untuk melihat isi selengkapnya silahkan download di bawah ini.

http://www.4shared.com/office/wxTektqy/RANGKUMAN_SINOPSIS.html

Minggu, 19 Agustus 2012

PENDIDIKAN INKLUSIF: BEBERAPA IMPLIKASI TERHADAP PENGELOLAAN SEKOLAH











Disajikan dalam
Temu Ilmiah Nasional Perkembangan Terkini dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Dunia dan di Indonesia dalam Kaitannya dengan Education For Alll
di Universitas Negeri Sebelas Maret      
Tanggal 16 - 18 Nopember 2009


 
 


Oleh : Triyanto Pristiwaluyo
Dosen PLB FIP Universitas Negeri Makassar 





Pendahuluan

Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pada dasarnya disemangati oleh seruan Internasional Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. Sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pasal 32 UUSPN Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
             Sementara itu pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi dengan pernyataan Salamanca tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education for All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Demikian juga diperkuat oleh Deklarasi tentang Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif yang dicetuskan di Bandung, 11 Agustus 2004. Pendidikan inklusif diharapkan mampu mendorong sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, terutama mereka  yang memiliki kebutuhan khusus.
            Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua terutama anak-anak berkebutuhan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak lain. Walaupun demikian pendidikan inklusif secara berangsur-angsur sudah mulai diterima sebagai bagian dari upaya yang memiliki nilai strategis dalam mengembangkan kebijakan pendidikan nasional. 
            Bahasan lebih lanjut akan disampaikan uraian lebih detil tentang pendidikan inklusif, implikasi bagi pengelolaan sekolah, dan kegiatan bimbingan dan konselingnya.

Makna Pendidikan Inklusif
Apa itu inklusi atau pendidikan inklusif? Berdasarkan definisi pragmatik, inklusi adalah suatu sikap – suatu nilai dan sistem kepercayaan (belief system) – bukan suatu tindakan atau seperangkat tindakan.  Sekali diadopsi oleh suatu sekolah atau distrik sekolah, inklusi seharusnya mendorong semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh orang yang mengadopsi kata inklusi itu.  Kata include berimplikasi menjadi bagian dari sesuatu, menyatu dengan keseluruhan.   Exclude, lawan kata include, yang berarti menjauhkan, melepas, atau memisahkan. Definisi ini mulai memaknai gerakan yang tumbuh dalam membangun sekolah inklusif. Dengan mengetahui makna istilah inclusion  dan exclusion, kita semakin terbantu dalam memahami pendidikan inklusif.
      Yang sungguh menarik dapat diambil pelajaran yaitu jawaban terhadap seseorang jika dihadapkan pada kejadian hidup yang terkait dengan kondisi include dan exclude. Responden memiliki perasaan yang berbeda jika dalam kondisi include dan exclude. Jika mereka berada dalam keadaan exclude, maka perasaan yang muncul, di antaranya:   marah, terluka, frustasi, kesepian, berbeda, bingung, terpisah, inferior, tak berharga, di bawah standar, tidak diinginkan, tidak diterima, tertutup, dan malu. Sebaliknya jika mereka berada dalam kondisi include, maka perasaan yang dapat muncul, di antaranya:  bangga, aman, merasa spesial, nyaman, terhargai, percaya, bahagia, senang sekali, terpercaya, disukai, diterima, diapresiasi, didukung, dicintai,   terbuka, positif, penting, dan tanggung jawab.
            Berdasarkan gambaran emosi yang terkait dengan exclude dan include, maka nampak tak seorangpun yang menyukai di-exclude. Dengan begitu pendidikan inklusif adalah tentang merangkul semua, membuat komitmen untuk melakukan apapun yang mampu membekai setiap siswa hidup di tengah-tengah masyarakat – dan setiap warga negara dalam suatu negara yang menjunjung tinggi demokrasi – suatu hak yang tak bisa eleminasi untuk memiliki. Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi  setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan (mis. Gifted, disability).
Inclusive education means that... schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.. (The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, para 3)

Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eksklusi baik dalam maupun dari kegiatan pendidikan. Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliput semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak  (UNESCO, 1994).
            Pendidikan inklusif berkenaan dengan memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusif bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan memilhatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, daripada suatu problem.
            Pearpoint and Forest (1992) menjelaskan nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusif adalah Penerimaan, Pemilikan, dan Komunitas atau the  ABCs (Acceptance, Belonging, and Community)  dan Membaca, Menulis, dan Hubungan atau the three Rs (Reading, Writing, and Relationships).  Sekolah inklusif menilai interdependence sama pentingnya dengan independence. Sekolah inklusif menilai siswa, staf, guru, dan orangtua sebagai suatu komunitas pembelajar. Suatu sekolah inklusif memandang setiap anak adalah gifted. Sekolah inklusif menghargai semua jenis keragaman sebagai suatu kesempatan untuk belajar tentang apa yang membuat kita sebagai manusia. Inklusi menfokuskan pada bagaimana mendukung keberbakatan dan  kebutuhan tertentu dari setiap anak di dalam komunitas sekolah untuk merasa tersambut dan aman serta menjadi sukses.
            Asumsi lain yang mendasari sekolah inklusif adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang baik, yang setiap anak dapat belajar, diberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan aktivitas yang  bermakna. Sekolah inklusif mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan mengajar dan belajar yang baik.
            Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas regular, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya. Pendidikan inklusif memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat.  Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusif berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus. Yang pada gilirannya bahwa pendidikan inklusif merupakan strategi yang efektif bagi pensuksesan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Implikasi bagi Pengelolaan sekolah
Berdasarkan filosofi dan makna pendidikan inklusif, Ford, A., R. Schnorr, L. Meyer, L. Davern, J. Black, and P. Dempsey. (1989) menegaskan bahwa ada beberapa prinsip pendidikan inklusif, di antaranya:
  • Mendidik semua anak yang berkebutuhan khusus dalam ruang kelas reguler tanpa memperdulikan jenis kelainannya.
  • Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua siswa untuk belajar dari setiap kontribusinya.
  • Memberikan layanan yang diperlukan di sekolah-sekolah reguler.
  • Memberikan dukungan bagi guru dan administrator reguler (misalnya dengan memberikan waktu, latihan, sumber-sumber teamwork dan strateginya).
  • Memungkinkan siswa yang berkebutuhan khusus mengikuti jadwal yang sama seperti siswa yang tak berkebutuhan khusus.
  • Melibatkan siswa yang berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas akademik dengan anak yang seusia dan kegiatan ekstrakulernya, mencakup seni, musik, senam, studi lapangan, dan latihan wisuda.
  • Siswa-siswa berkebutuhan khusus menggunakan kafetaria sekolah, perpustakaan, lapangan bermain, dan fasilitas lainnya bersama dengan siswa yang tak berkebutuhan khusus.
  • Mendorong persahabatan antara siswa yang berkebutuhan khusus dan tak berkebutuhan khusus. 
  • Siswa berkebutuhan khusus menerima pendidikan dan latihan kerjanya di dalam lingkungan masyarakat pada umumnya jika perlu.
  • Mengajar semua anak untuk memahami dan menerima perbedaan manusia.
  • Menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah yang sama dengan anak yang tak berkebutuhan khusus.
  • Meminta kepedulian orangtua secara serius.
  • Memberikan suatu program pendidikan yang berdiferensiasi yang sesuai.

Bertitik dari beberapa prinsip itulah, maka dapat dirumuskan sejumlah implikasi pengelolaan sekolah sebagai berikut:
1) Peserta didik  
Pendidikan inklusif memungkinkan bisa mengakomodasi semua anak untuk dapat mengakses pendidikan di sekolah reguler, tanpa memandang kondisi dan keterbatasan yang dimilikinya, baik berkenaan dengan kelainan (kekhususan), jenis kelamin, asal daerah, dan sebagainya. Lebih utamanya, bahwa anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya tidak memiliki hambatan yang berarti untuk mengakses pendidikan di sekolah reguler.

2) Kurikulum atau program pendidikan
Kurikulum  atau program pendidikan bagi semua peserta didik, termasuk juga anak berkebutuhan khusus akan memiliki efektivitas yang tinggi, manakala pada tataran implementasinya memiliki fleksibilitas sehingga dapat diterapkan bagi siapapun yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang unik. Dengan demikian Individualized Educational Programs (IEP) merupakan pendekatan yang memiliki relevansi dan efektivitas yang tinggi. Selain program akademik, maka untuk mencapai tujuan institusional yang komprehensif sangatlah dibutuhkan layanan bimbingan dan konseling yang memadai sehingga dapat menjadikan peserta didik dapat mencapai kematangan personal, sosial, dan karir.

3) Pendidik dan Tenaga Kependidikan  
Untuk mencapai kesuksesan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan, terutama guru dan guru pendidikan khusus memiliki arti yang sangat penting. Tentu saja guru yang diharapkan sekali adalah guru yang mampu memahami perbedaan individu dan memiliki kecakapan profesional yang diwujudkan dengan kemampuan mengembangkan materi dan menggunakan metodologi yang relevan dengan kepentingan kegiatan pendidikan dan instruksional.

4) Sarana-Prasarana  
Keberadaan dan pengadaan sarana dan prasarana merupakan sutau komponen yang sangat penting, terlebih-lebih bagi anak berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana yang memiliki produktivitas yang tinggi adalah yang mampu menfasilitasi terjadainya kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang mengasikkan dan menyenangkan, di samping sarana dan prasarana yang dapat diakses (accesable) oleh peserta didik dalam kondisi apapun.
  
5) Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang penting dari suatu proses pendidikan dan pembelajaran. Evaluasi dalam pendidikan inklusif diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti, terutama mampu mendorong (encourage) peserta untuk maju, bukan lagi sebaliknya bahwa penerapan evaluasi justru mematikan semangat untuk belajar. Evaluasi yang demikian diharpkan lebih bersifat apresiatif daripada judgmental.

6) Pengawasan
Pengawasan pada dasarnya memiliki kedudukan yang strategis dalam mengantar institusi dan personnil pendidikan dalam mencapai kinerja yang memenuhi standar pelayanan minimal. Dalam konteks penerapan pendidikan inklusif, pengawasan perlu terus dilakukan secara kontinyu yang lebih diorientasikan kepada pengawasan kinerja daripada pengawasan administratif. Dengan demikian pengawas pendidikan perlu memiliki wawasan tentang ragam peserta didik berkebutuhan khusus.  

7)  Partisipasi masyarakat.
Untuk menjamin keberlangsungan implementasi pendidikan inklusif, sangatlah diperlukan partisipasi masyarakat dari berbagai pihak terutama orangtua, organisasi profesi, dan para ahli, sehingga beban penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijangkau dengan mudah. Tanpa partisipasi masyarakat yang memadai, kiranya penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak akan mampu menunjukkan hasil yang optimal.


Implikasi bagi Layanan Bimbingan dan Konseling
Pendidikan inklusif pada hakekarnya membangun sistem yang menfasilitasi semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk belajar bersama dengan dilakukan modifikasi isi, metode, media, lingkungan dan interaksinya. Kondisi yang demikian memiliki beberapa implikasi bagi layanan bimbingan dan konseling.
            Pertama, disadari bahwa man is unique. Artinya bahwa setiap individu itu memiliki keunikan karakteristik dan kebutuhan, terlebih-lebih anak berkebutuhan khusus. Ketika anak berkebutuhan khusus dilayani dengan sistem pendidikan inklusif, maka secara obyektif anak berkebutuhan khusus di samping memiliki keunikannya itu mereka diduga juga akan menghadapi beberapa persoalan, di antaranya: salah suai (maladjustmant), berprestasi kurang (underachiever) karena memiliki hambatan untuk berekspresi, memiliki harga diri rendah (low self esteem) karena bersaing dengan normal, merasa ditolak (rejected) karena sering terjadi banyak orang tidak welcome kehadiran anak cacat, dan bahkan merasa termanjakan (overprotective) karena ada juga beberapa orang menunjukkan perasaan pilantropis terhadap kecacatan.
            Untuk menghadapi persoalan-persoalan itu anak berkebutuhan khusus ada yang mampu menghadapi sendiri, ada juga yang membutuhkan bantuan bimbingan dan konseling, baik yang terkait dengan upaya pemecahan masalah, pencegahan timbulnya masalah, maupun upaya pengembangan diri. Dengan bantuan layanan bimbingan dan konseling, setidak-tidaknya anak berbatuan khusus tidak hanya mampu adaptif terhadap lingkungan (well-adaptive)  terutama di tengah-tengah anak kehidupan reguler, melainkan juga mampu menuju aktualisasi diri (self-actualization).
            Kedua,  bahwa layanan BK yang terutama dibutuhkan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif adalah layanan bimbingan personal-sosial dan akademik. Layanan bimbingan personal-sosial lebih diorientasikan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mencapai kesadaran diri, realisasi diri, dan aktualisasi diri, di samping yang juga sama pentingnya adalah untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam membangun kemampun penyesuaian diri (well-adjusted), karena mereka hidup di tengah-tengah mayoritas orang yang berbeda dengan dirinya. Selain daripada itu layanan bimbingan akademik yang diorientasikan kepada layanan bimbingan yang memberikan fasilitasi dalam pengembangan akademik, karena dengan keterbatasannya seringkali mereka mengalami hambatan dalam mengekspresikan ide-ide dan kemampuannya. Dengan bimbingan belajar dan akademik, mereka akan mudah menunjukkan kemampuan akademiknya secara optimal.
            Ketiga, untuk mengefektifkan layanan BK bagi anak berkebutuhan khusus, kiranya tepat sekali bila di samping   dilakukan dengan bentuk model bimbingan konvensional, yaitu dengan melakukan layanan bimbingan dan konseling langsung kepada  anak berkebutuhan khusus sendiri, apakah melalui `konseling individual maupun bimbingan kelompok, maka dapat dilakukan juga dengan peer counseling terutama anak-anak yang berusia remaja, dan konseling multikultural karena anak-anak berada pada individu yang sangat beragam karkateristiknya. Selain daripada bahwa layanan konseling yang sangat dibutuhkan anak berkebutuhan khusus adalah parent counseling, yaitu konseling yang diberikan kepada orangtua sebagai pendamping anak dalam waktu yang lebih lama di rumah.
            Keempat, layanan bimbingan dan konseling yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus dalam program pendidikan inklusif dipandang memiliki efektivitas tinggi jika dilakukan pada awal tahun ajaran terutama untuk kepentingan tindakan preventif dan penyesuaian dengan lingkungan; pada saat menghadapi masalah terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah serius yang tidak mampu diselesaikan sendiri; pada saat proses pendidikan berlangsung, terutama bagi yang membutuhkan bantuan untuk pengembangan diri; dan saat liburan terutama dilakukan dengan outbound activities melalui berbagai permainan yang dimaksudkan untuk pengembangan kecakapan diri, sosial, dan moral.
            Kelima, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus idealnya  seharusnya dilakukan oleh konselor yang benar-benar menguasai karakteristik fisik, mental, sosial, kognitif, dan afektif (moral) anak berkebutuhan khusus dan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Jika tidak ada konselor di sekolah itu, maka guru pendidikan khusus diharapkan mampu memainkan peran konselor dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus.
             

Penutup
Pendidikan inklusif sebagai suatu kecenderungan baru dalam sistem pendidikan hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya demokrasi pendidikan dan tegaknya hak asasi manusia di seluruh dunia. Pendidikan inklusif  semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education For All dideklarasikan. 
            Pendidikan inklusif berimplikasi terhadap sistem persekolahan yang dapat dilihat melalui adanya modifikasi kurikulum dan program pendidikan, metode pembelajaran, media, lingkungan, bahkan sistem evaluasinya, sehingga keberadaan anak berkebutuhan khusus merasa mendapatkan tempat dan layanan pendidikan yang sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhannya. Demikian juga, implementasi pendidikan inklusif menuntut model layanan bimbingan dan konseling yang efektif sehingga berhasil membawa misinya untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus secara optimal.


Daftar Pustaka

Brameld, T. (1956). Toward a Reconstructed Philosophy of Education. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Choate, J.S., and S. Evans. (1992). "Authentic Assessment of Special Learners: Problem or Promise?" Preventing School Failure 37, 1: 6–9.
Dutton, D.H., and D.L. Dutton. (1990). "Technology to Support Diverse Needs in Regular Classes." In Support Networks for Inclusive Schooling: Interdependent Integrated Education, edited by W. Stainback and S. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Falvey, M.A. (1989). Community Based Curriculum: Instructional Strategies for Students with Severe Handicaps. Baltimore: Paul H. Brookes.
Fullan, M. (1993). "Innovative Reform and Restructuring Strategies." In Challenges and Achievements of American Education, edited by G. Cawelti.
Grant, C., and C. Sleeter. (1989). "Race, Class, Gender, Exceptionality, and Educational Reform." In Multicultural Education: Issues and Perspectives, edited by J. Banks and C. McGee Banks. Boston: Allyn and Bacon.
McLaughlin, M., and S. Warren. (1992). Issues and Options in Restructuring Schools and Special Education Programs. College Park: University of Maryland, The Center for Policy Options in Special Education, and the Institute for the Study of Exceptional Children and Youth.
Pearpoint, J., and M. Forest. (1992). "Foreword." In Curriculum Considerations in Inclusive Classrooms: Facilitating Learning for All Students (pp. xv–xviii), edited by S. Stainback and W. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Sapon-Shevin, M., B.J. Ayres, and J. Duncan. (1994). "Cooperative Learning and Inclusion." In Creativity and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers, edited by J. Thousand, R. Villa, and A. Nevin. Baltimore: Paul H. Brookes.
Silverman, L.K. Ed. (1993), Counseling the Gifted & Talented, Denver: Love Publishing Company
Villa, R., and J. Thousand. (1992). "Student Collaboration: An Essential for Curriculum Delivery in the 21st Century." In Curriculum Considerations in Inclusive Classrooms: Facilitating Learning for All Students, edited by S. Stainback and W. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.

PENERAPAN METODE “BACKWARD CHAINING” DALAM PENGAJARAN KETERAMPILAN MENGURUS DIRI SENDIRI PADA ANAK IMBESIL DI SLB BAGIAN C SE KOTA MAKASSAR





ABSTRAK
Triyanto Pristiwaluyo[1]


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektiifitas penerapan metose “backward chaining” dalam pengajaran keterampulan mengurus diri sendiri dalam memakai baju kaos oblong pada anak imbesil kelas dasar.
Objek dalam penelitiab ini adalah siswa imbesil kelas dasar III SLB C Kota Makassar.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Perlakuan yang diberikan adalah latihan keterampilan mengurus diri sendiri  memakai baju kaos oblong dengan menggunakan metode backward chaining.  Pola yang dignakan adalah Posttest Only Control Design.Dalam penelitian terdapat dua kelompok, yaitu kelompok kekperimen dan kelompok kontrol, yang masing-masing anggotanya dipilih secara random.
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terhadap tugas yang diberikan, yaitu mengamati perilaku anak imbesil dalam memakai baju kaos oblong secara langsung.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan keberhasilan anak imbesil kelas dasar tiga SLB C Kota Makassar dalam memakai baju kaos oblong sendiri antara yang dilatih dengan menggunakan metode backward chaining dengan metode konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan metode backward chaining terhadap kemampuan memakai naju sendiri pada anak imbesil kelas dasar tiga di SLB C Kota Makassar, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengajaran mengurus diri sendiri pada anak imbesil.


Kata kunci: anak imbesil, metode backward chaining







THE IMPLEMENTATION OF BACKWARD CAHINING METHODE IN TEAVHING SELF MANAGEMENT SKILL TO THE IMBECILES AT SPECIAL SCHOOLS ”C” IN MAKASSAR

ABSTRACT
Triyanto Pristiwaluyo


The research was aimed at finding out effectiveness of backward chaining method in teaching self managenet skills, especially in putting on T-shirt skills to the  imbeciles of elementary level. The research objects incvluded imbeciles student of elementary level III of special scholls “C” in Makassar City.
The research applied an exceptional method with Posttest Only Control Design. The research has two group, experiment and control group.The treatment was self management skill exercises, especially putting on T-shirt excercises using backward chaining method. Data collection was conducted through the direct observation to the students performance in doing the tasks given, especially in putting on T-shirts.
The result of research show the existence of difference of efficacy of child of imbecil elementary class three in special scholls “C” Makassar City in putting on T-shirt among the student was trained using backward chaining method with conventional method. This matter indicate that there is influence of applying of backward chaining method to ability in putting on T-shirt of imbecil elementary levels in special scholls “C” Makassar City, so that can be used as an alternative method  in the teaching of self management skills to the imbeciles.









A.    Latar Belakang

Anak Tunagrahita merupakan salah satu kelompok anak penyandang kelainan. Anak tunagrahita biasa juga disebut anak terbelakang mental. Akibat keterlambatan mental itulah sehingga anak tunagrahita mempunyai banyak  masalah, mulai dari masalah dalam mengurus diri sendiri sampai pada masalah pendidikan. Melihat beratnya masalah anak tunagrahita tersebut maka dapat dikatakan bahwa anak tunagrahita merupakan penyandang cacat yang lebih  berat dibandingkan dengan penyandang cacat lainnya.
Pada umumnya anak tunagrahita diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar berdasarkan derajat kelainannya, yaitu anak tunagrahita ringan (debil), anak tunagrahita sedang (imbesil), dan anak tunagrahita berat (idiot) (Ingalls, 1978; Kirk & Gallagher, 1988). Anak debil masih dapat mengikuti pelajaran yang bersifat akademis meskipun kemampuan intelektualnya lambat, karena itu anak debil biasa juga disebut anak mampu didik.  Kemampuan intelektual anak imbesil berada di bawah anak debil, sehingga mereka tidak mampu mengikuti pelajaran yang bersifat akademis, meskipun dalam tingkat yang rendah. Pendidikan anak imbesil lebih ditekankan pada latihan keterampilan, terutama keterampilan mengurus diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, karena itu anak ini biasa disebut anak mampu latih. Sedangkan anak idiot, karena kemampuan intelektualnya sangat rendah, anak ini tidak mampu lagi dididik maupun dilatih, anak ini biasanya membutuhkan perawatan sepanjang hidupnya, oleh karena itu biasanya disebut juga anak perlu rawat.
Dalam konteks kemampuan mengurus diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari, salah satu jenis masalah yang dihadapi anak imbesil adalah kesulitan mengurus diri sendiri dalam hal memakai baju, baik baju dalam bentuk kaos (oblong) maupun baju yang menggunakan kancing.
Kemampuan anak imbesil sangat berbeda dengan anak normal seusianya. Bagi anak normal usia sekolah, tidak ada kesulitan memakai baju sendiri. Namun bagi anak imbesil usia awal sekolah, keterampilan memakai baju sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah. Pada umumnya anak gagal memakai baju kaos sendiri; meskipun dengan bantuan, apalagi memakai baju dengan kancing. Kegagalan demi kegagalan yang dialami anak imbesil, membuat mereka jengkel bahkan kadang “marah”. Oleh karena itu dalam membimbing anak imbesil, termasuk dalam memakai baju, yang harus dikedepankan adalah kepuasan dan pencapaian hasil dalam waktu yang singkat.
Untuk mengajarkan suatu keterampilan termasuk keterampilan memakai baju kepada anak imbesil, cara yang termudah dan dapat menampakkan hasil dalam waktu yang relatif singkat adalah dengan teknik mengajarkan langkah-langkah terakhir terlebih dahulu. Cara seperti ini dikenal dengan  metode  Backward Chaining”.
Metode Backward Chaining dilakukan berdasarkan atas analisis tugas (task analysis) yang harus dilakukan oleh anak sesuai dengan keterampilan yang akan dipelajari. Dalam penerapan pengajaran keterampilan memakai baju, keterampilan atau tugas  memakai baju dianalisis langkah demi langkah secara detail. Dari hasil analisis itu kemudian diajarkan dari langkah paling akhir terlebih dahulu.  Dalam memakai baju kaos, langkah yang paling akhir adalah menarik baju dari pinggang ke bawah. Dengan hanya tinggal menarik baju kaos dari pinggang ke bawah maka “terkesan” bahwa anak itu telah selesai dan “berhasil’ memakai baju kaos sendiri. Keberhasilan itu menimbulkan kepuasan pada anak, sehingga menguatkan motivasinya untuk belajar lebih lanjut. Kemudian setelah itu lakukan dengan langkah kedua, yakni menarik baju dari ketiaknya ke dadanya, dan seterusnya, yang pada akhirnya anak mengawali dari langkah yang pertama.
Dengan mencermati langkah-langkah metode backward chaining tersebut dapat diduga bahwa metode ini lebih efektif digunakan dalam pengajaran keterampilan  mengurus diri sendiri pada anak imbesil, terutama pada anak kelas dasar. Keterampilan mengurus diri sendiri dalam memakai baju diajarkan pada anak imbesil kelas dasar I, II, dan III. Penggunaan metode backward chaining pada tingkat kelas yang manakah yang paling efektif, masih menjadi pertanyaan.  Metode backward chaining ini belum banyak dikenal di SLB-SLB khususnya di Kota Makassar. Selama ini pengajaran keterampilan mengurus diri sendiri pada anak imbesil di SLB-SLB yang ada di Kota Makassar masih menggunakan metode konvensional, yaitu metode pengajaran seperti halnya pada mengajar memakai baju bagi anak-anak pada umumnya.
Dalam penelitian ini, akan dieksperimenkan metode backward chaining pada pengajaran keterampilan mengurus diri sendiri dalam  memakai baju kaos (oblong) pada anak imbesil kelas dasar I, dasar II, dan dasar III di SLB bagian C se Kota Makassar, untuk melihat pada tingkatan kelas manakah metode ini efektif untuk diajarkan.

B.     Rumusan Masalah

Secara umum permasalahan yang akan dipecahkan melalui penelitian ini adalah pada tingkat kelas dasar berapakah metode backward chaining paling efektif untuk diajarkan pada pengajaran keterampilan mengurus diri sendiri dalam memakai baju kaos oblong pada anak imbesil.
Selanjutnya dari masalah umum tersebut, diperinci dalam beberapa permasalahan berikut:
1.      Berapa persen keberhasilan anak imbesil kelas dasar III dalam memakai baju kaos sendiri yang dilatih dengan menggunakan metode konvensional ?
2.      Berapa persen keberhasilan anak imbesil kelas dasar III dalam memakai baju kaos sendiri setelah dilatih dengan menggunakan metode backward chaining ?
3.      Apakah terdapat perbedaan yang nyata keberhasilan memakai baju kaos sendiri siswa imbesil kelas III yang dilatih dengan menggunakan metode  konvensional dan yang dilatih dengan menggunakan metode backward chaining.

C.    Tujuan Penelitian

Seacara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran   “keefektifan penerapan metode backward chaining dalam pengajaran keterampilan mengurus diri sendiri dalam memakai baju kaos oblong pada anak imbesil kelas dasar”.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.      Persen keberhasilan anak imbesil kelas dasar III dalam memakai baju kaos sendiri yang dilatih dengan menggunakan metode konvensional ?
2.      Persen keberhasilan anak imbesil kelas dasar III dalam memakai baju kaos sendiri setelah dilatih dengan menggunakan metode backward chaining ?
3.      Perbedaan yang nyata keberhasilan memakai baju kaos sendiri siswa imbesil kelas III yang dilatih dengan menggunakan metode  konvensional dan yang dilatih dengan menggunakan metode backward chaining.

D.    Tinjauan Pustaka
1.      Program pendidikan Anak Imbesil
Anak imbesil merupakan salah satu jenis dari anak tunagrahita. Istilah imbesil juga biasa diartikan anak tunagrahita yang mampu latih. Selain itu imbesil biasa juga dikatakan anak tunagrahita kelompok sedang. Muh. Amin (1995:23), mendeskripsikan anak imbesial sebagai berikut, yaitu :
Mereka memiliki kemampuan intelektual umum dan adaptasi perilaku di bawah anak debil (tunagrahita ringan). Mereka dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan-tujuan fungsional, mencapai suatu tingkat “tanggung jawab”, dan mencapai penyesuaian sebegai pekerja dengan bantuan. Mereka mampu memperoleh keterampilan mengurus diri (self-help) seperti berpakaian, berganti pakaian, mandi, menggunakan WC, dan makan, melindungi dirinya dari bahaya umum di rumah dan lingkungannya; dapat belajar keterampilan dasar akademis

Program pendidikan bagi anak imbesil pada umumnya kurang berorientasi akademik dibandingkan pendidikan bagi anak tunagrahita ringan (debil). Pendidikan bagi anak imbesil lebih ditekankan pada pemberian keterampilan, sehingga mereka mampu berfungsi dalam lingkungan sosial. Karena pembagian antara anak yang tunagrahita sedang dan anak tunagrahita ringan didasarkan pada skor IQ (dengan 55 sebagai batas pembagian yang agak berubah-ubah), perbedaan program yang keras dan cepat di antara keduanya tidaklah harus dibuat, tingkat kemampuan harus dipandang sebagai suatu jarak. Dengan kata lain, anak-anak yang ber-IQ 53 tidak harus secara otomatis diberikan program pendidikan yang benar-benar berbeda dibandingkan dengan anak yang ber-IQ 57
Gearheart dan Litton dalam Hallahan dan Kauffman (1982) mencatat enam bidang muatan mata pelajaran yang diikutkan kepada petunjuk kurikulum untuk siswa imbesil, yaitu keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan komunikasi, keterampilan sosial-personal, keterampilan pendidikan gerak/fisik-perseptual, akademika fungsional, dan keterampilan kejuruan.

2.      Keterampilan memakai baju dengan  metode backward chaining
Bagi anak tunagrahita, terutama anak imbesil belajar mengenai pelajaran yang bersifat akademik, meskipun dasar-dasar seperti menulis, membaca, dan menghitung merupakan suatu hal yang sulit dilakukan bahkan tidak mampu dilakukan, karena keterbatasan inteligensi yang mereka miliki.
Meskipun anak imbesil tidak mampu mengikuti atau menerima pelajaran yang bersifat akademik, tetapi anak imbesil masih dapat dididik atau dilatih dalam keterampilan mengurus diri sendiri, misalnya memakai baju. Anak imbesil pada umumnya mengalami kesulitan dalam memakai atau mengenakan bajunya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Belajar memakai baju seperti baju kaos oblong bagi anak imbesil merupakan pelajaran yang rumit. Oleh karena itu diperlukan metode atau teknik yang dapat merangsang anak untuk terus mencoba-dan mencoba, agar anak tidak cepat bosan dan putus asa. Dalam hal ini harus diutamakan rasa kepuasan dan pencapaian hasil dalam waktu yang singkat.
Pada tahun 1978 Lynch & Simms memperkenalkan metode backward chining dalam pembelajaran keterampilan pada anak tunagrahita, khususnya pada anak imbesil. Metode ini diawali dengan melakukan task analysis terhadap tugas atau keterampilan yang akan diajarkan kepada anak. Tugas itu dipecah-pecah menjadi  langkah-langkah kecil dan berurutan. Jika dalam pengajaran keterampilan dengan metode konvensional, pengajaran dilakukan dari langkah yang paling awal sampai paling akhir, dalam pengajaran keterampilan yang menggunakan metode backward  chaining pengajaran dilakukan dari langkah yang paling akhir, berjalan mundur berturut-turut hingga langkah paling awal.
Misalnya dalam pengajaran memakai baju kaos oblong maka kegiatan tersebut dapat dipecah menjadi tujuh langkah, yakni meletakkan kaos di atas meja di depan anak, memasukkan kedua lengan ke dalam kaos, menggerakkan kedua lengan, mengangkat kaos itu hingga lubang kepalanya berada di atas kepala, menarik lubang kepala bagian bawah kaos dan ketiak ke dada dan terakhir menarik bagian bawah dari dada ke pinggang.
Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, dalam  pengajaran memakai baju kaos oblong, maka yang diajarkan terlebih dahulu adalah langkah ke tujuh, baru langkah ke enam, langkah ke lima, sampai langkah pertama. Dengan metode tersebut anak imbesil tidak hanya dapat merasa berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu relatif singkat tapi dengan metode itu memungkinkan anak imbesil merasa puas dan senang dengan pencapaian keberhasilan dalam memakai bajunya sendiri.
Untuk menerapkan latihan keterampilan memakai baju  kaos oblong dengan metode backward chaining, terlebih dahulu harus dilakukan analisis tugas sebagai dasar latihan. Adapun kegiatan yang dilatihkan kepada anak berdasrkan hasil analisis tugas tersebut, adalah  :
a.       Menarik baju kaos dari dada ke bawah
b.      Memakai/menarik baju kaos dari ketiak ke bawah
c.       Mengenakan/memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju hingga pergelangan tangan
d.      Memasukkan lengan tangan kanan.
e.       Memasukkan lengan tangan kiri
f.       Memasukkan leher baju kaos ke kepala
g.      Memakai baju kaos dari awal hingga terakhir


E.     Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Jenis perlakuan yang ieksperimenkan adalah latihan keterampilan mengurus diri sendiri memakai baju kaos oblong dengan menggunakan metode backward chaining pada anak imbesil kelas dasar I, dasar II, dan dasar III. Metode ini digunakan untuk melihat secara nyata keefektifan penerapan metode backward chaining dalam pengajaran keterampilan mengurus diri sendiri anak imbesil kelas dasar.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Posttest Only Control Design, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
E                            X                                 Y2       
K                                                               Y2
Pada desain di atas
E       Kelompok eksperimen
K      Kelompok kontrol
X  adalah perlakuan berupa latihan memakai baju kaos oblong dengan menggunakan metode backward chaining
Y2  adalah sekor posttest, yaitu tes keberhasilan memakai baju kaos oblong sendiri

Subyek populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa imbesil kelas dasar tiga yang aktif belajar pada SLB Bagian C di Kota Makassar. Dipilih kelas dasar tiga karena pelajaran keterampilan mengurus diri sendiri tingkat dasar diajarkan pada kelas tersebut. Dalam penelituan terdapat dua kelompok yang masing-msing dipilih secara random. Kelompok pertama kelompok yang diberi perlakuan (kelompok ekperimen) dan kelompok kedua adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan.
Data dikumpulkan melalui instrumen lembar pengamatan terhadap tugas yang diberikan, untuk mengamati perilaku anak imbesil dalam memakai baju kaos oblong secara langsung.
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, kuantitatif dalam bentuk tabel dan grafik untuk mendeskripsikan kemampuan subyek penelitian dalam memakai baju kaos oblong, baik dari kelompok eksperimen maupun dari kelompok kontrol. Sedangkan untuk menguji signifikansi perbedaan kemampuan memakai baju kaos oblong antara kelompok, digunakan uji statistik Paired Sample T Test
Untuk proses keputusan atau penentuan tingkat kemampuan memakai baju kaos oblong, digunakan  kriteria penilaian sebagai berikut :
a.       Jika anak dapat melakukan tugas seperti yang diperintahkan secara sempurna tanpa bantuan, maka diberi skor 3.
b.      Jika anak dapat melakukan tugas seperti yang diperintahkan dengan bantuan, dan hasilnya sempurna, maka diberi skor 2.
c.       Jika anak dapat melakukan tugas seperti yang diperintahkan dengan bantuan, tetapi hasilnya kurang sempurna, maka diberi skor 1.
d.      Jika anak sama sekali tidak dapat melakukan tugas seperti yang diperintahkan, maka diberi skor 0.

F.     Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.      Deskripsi hasil penelitian kelompok kontrol (memakai baju kaos oblong secara konvensional)
a.      Memasukkan leher baju kaos ke kepala
Data tentang kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala,  disajikan dalam   tabel 1 di bawah ini.


Tabel 1. Kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
1
2
3
4
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
3
3
3
2
3
50
50
75
75
75
50
75
Jumlah
7
1
3
7
18
450
Persentase
100
14
43
100

64.29

Pada umumnya anak sudah dapat melakukan:
·         Mengangkat kedua tangan ke atas kepala (item No.1) dan meluruskan tangannya ke samping (item No.4).
·         Tetapi apabila membengkokkan kedua siku ke samping leher (item No.2) dan menurunkan ke bawah perlahan-lahan masuk ke leher baju kaos (item No.3) anak tidak dapat melakukannya.
·         Rata-rata kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala sebesar 64,29%.
b.      Memasukkan lengan tangan kanan
Data tentang kemampuan memasukkan lengan tangan kanan,  disajikan dalam   tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Kemampuan memasukkan lengan tangan kanan.
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
5
6
7
8
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
3
2
2
3
3
2
2
75
50
50
75
75
50
50
Jumlah
1
6
3
7
17
425
Persentase
14
86
43
100

60.71

Pada kegiatan memasukkan lengan tangan kanan, pada umumnya
·         Pada umumnya anak dapat memasukkan lengan tangan kanan, membengkokkan pergelangan tangan kanan (item No.6) meluruskan tangan ke samping kanan (item No.8)
·         Anak belum bisa menggeser telapak tangan kanan hingga ke lubang baju (item No. 5), mengeser telapak tangan ke samping kanan hingga keluar (item No. 7)
·         Rata-rata kemampuan memasukkan lengan tangan kanan sebesar 60,71%.

c.       Memasukkan lengan tangan kiri
Data tentang kemampuan memasukkan lengan tangan kiri,  disajikan dalam   tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kemampuan memasukkan lengan tangan kiri
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
9
10
11
12
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
3
2
2
2
3
2
3
75
50
50
50
75
50
75
Jumlah
3
7
1
7
17
425
Persentase
43
100
14
100

60.71

Pada kegiatan memasukkan lengan tangan kiri, pada umumnya
·         Anak dapat membengkokkan pergelangan ke tangan kiri (item No.10) dan meluruskan lengan ke samping kiri (item No.12)
·         Anak belum dapat menggeser telapak tangan kiri hingga ke dalam lubang baju (item No.9) dan menggeser telapak tangan ke samping (item No.11)
·         Rata-rata kemampuan memasukkan lengan tangan kiri sebesar 60,71%.

d.      Memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju

Data tentang kemampuan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju,  disajikan dalam  tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4.     Kemampuan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju

Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
13
14
15
16
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
2
2
2
3
3
3
3
50
50
50
75
75
75
75
Jumlah
7
5
0
6
18
450
Persentase
100
71
0
86

64.29

Pada kegiatan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju,
·         Pada umumnya anak sudah dapat melakukan mengangkat tangan ke atas kepala (item No.13) dan menekuk siku (item No.14) dan memasukkan tangan yang dominan (item No.16)
·         Anak sama sekali belum bisa memasukkan kepala ke bagian leher baju kaos (item No.15).
·         Rata-rata kemampuan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju sebesar 64.29%.

e.       Menarik baju dari ketiak ke bawah
Data tentang kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah,  disajikan dalam  tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
17
18
19
20
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
1
1
0
0
2
2
2
3
3
2
2
50
50
50
75
75
50
50
Jumlah
7
1
6
2
16
400
Persentase
100
14
86
29

57.14

Pada kegiatan menarik baju dari ketiak ke bawah,
·         Pada umumnya anak sudah dapat melakukan kegiatan menekuk tangan ke samping ketiak (item No. 17) dan menarik turun ke bawah (item No.19).
·         Anak belum bisa memegang bibir baju di bagian bawah baju kaos (item No. 17) dan menelusuri bibir baju bagian bawah dari depan ke belakang dan sebaliknya (item No. 20).
·         Rata-rata kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah sebesar 57,14%.

f.       Menarik baju dari dada ke bawah
Data hasil penelitian tentang kemampuan menarik baju kaos oblong dari dada ke bawah, disajikan dalam  tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Kemampuan menarik baju dari dada ke bawah
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
21
22
23
24
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
0
1
1
0
1
1
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
0
0
0
2
2
3
2
3
3
2
50
50
75
50
75
75
50
Jumlah
5
3
6
3
17
425
Persentase
71
42
85
42

60,71

Pada kegiatan menarik baju dari dada ke bawah pada umumnya
·         Anak sudah dapat menekuk tangan ke depan dada (item No.21) dan menarik turun ujung baju kaosnya (item No. 23).
·         Anak belum bisa memegang ujung bawah baju kaosnya (item No.22) dan menelusuri ujung bawah baju kaosnya dari depan dan dari belakang ke depan (item No. 24).
·         Rata-rata kemampuan anak menarik baju dari dada ke bawah sebesar 60,71%.

g.      Kemampuan memakai baju kaos dari awal hingga akhir
Data tentang kemampuan memakai baju kaos dari awal hingga akhir menggunakan metode konvensional, disajikan dalam tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Kemampuan memakai baju kaos dari awal hingga akhir
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
25
26
27
28
MC
AR
AI
RS
F
K
MF
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
3
3
3
3
2
3
3
75
75
75
75
50
75
75
Jumlah
6
3
5
6
20
500
Persentase
86
43
71
86

71.43









Pada dasarnya anak sudah dapat melakukan
·         Mengangkat tangannya ke atas (item No.25) mengulurkan tangan yang tidak dominan (item No.27) menggeser tangan ke sisi samping baju kaos (item No.28).
·         Tetapi pada item No.26 mengulurkan tangan yang dominan anak tidak bisa melakukan atau kurang bisa.
·         Rata-rata kemampuan anak memakai baju kaos dari awal hingga akhir rata-rata 71,43%.

2.      Deskripsi hasil penelitian kelompok eksperimen (memakai baju kaos oblong dengan metode backward chaining)

a.      Menarik baju dari dada ke bawah
Data hasil penelitian tentang kemampuan menarik baju dari dada ke bawah, disajikan dalam  tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Kemampuan menarik baju dari dada ke bawah

Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
1
2
3
4
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
3
3
3
3
3
4
3
75
75
75
75
75
100
75
Jumlah
7
4
7
4
22
550
Persentase
100
57
100
57

78.57









Pada dasarnya anak sudah dapat melakukan
·         Menekuk tangan ke depan dada (item No.1) dan menarik turun ujung baju kaosnya (item No.3).
·         Empat dari tujuah anak bisa memegang ujung bawah baju kaosnya (item No.2) dan menelusuri ujung bawah baju kaosnya dari depan dan dari belakang ke depan (item No.4).
·         Rata-rata kemampuan anak menarik baju dari dada ke bawah sebesar 78,57%.

b.      Menarik baju dari ketiak ke bawah
Data hasil penelitian tentang kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah, disajikan dalam  tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9.  Kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah sesudah menggunakan backward chaining
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
5
6
7
8
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
1
1
3
3
3
3
3
4
3
75
75
75
75
75
100
75
Jumlah
7
5
7
3
22
550
Persentase
100
71
100
43

78.57









Pada dasarnya anak sudah dapat melakukan
·         menekuk tangan ke samping ketiak (item No.5), memegang bibir baju di bagian bawah baju kaos (item No.6), dan menarik turun ke bawah (item No.7).
·         Anak belum bisa menelusuri bibir baju bagian bawah dari depan ke belakang dan sebaliknya (item No. 8).
·         Rata-rata kemampuan menarik baju dari ketiak ke bawah sebesar 78,57%.

c.       Memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan yang sudah dimasukkan ke lengan baju kaos

Data hasil penelitian tentang kemampuan menarik baju kaos oblong dengan kedua tangan yang sudah dimasukkan ke lengan baju kaos, disajikan dalam  tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Kemampuan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan yang sudah dimasukkan ke lengan baju kaos
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
9
10
11
12
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
0
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
2
3
3
3
3
3
3
50
75
75
75
75
75
75
Jumlah
6
6
1
7
20
500
Persentase
86
86
14
100

71.43









·         Pada umumnya anak sudah dapat melakukan mengangkat tangan ke atas kepala (item No.9) dan menekuk siku (item No.10) dan memasukkan tangan yang dominan (item No.12)
·         Anak sama sekali belum bisa memasukkan kepala ke bagian leher baju kaos (item No.11).
·         Rata-rata kemampuan memakai baju kaos oblong dengan kedua tangan sudah dimasukkan ke lengan baju sebesar 71,43%.

d.      Memasukkan lengan tangan kanan

Data hasil penelitian tentang kemampuan memasukkan lengan tangan kanan sesudah menggunakan backward chaining, disajikan dalam  tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11. Kemampuan memasukkan lengan tangan kanan
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
13
14
15
16
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
3
3
3
75
75
75
75
75
75
75
Jumlah
4
6
4
7
21
525
Persentase
57
86
57
100

75









Pada kegiatan memasukkan lengan tangan kanan, pada umumnya
·         anak dapat melakukan semua kegiatan, yaitu menggeser telapak tangan kanan hingga ke lubang baju (item No. 13), membengkokkan pergelangan tangan kanan (item No.14), mengeser telapak tangan ke samping kanan hingga keluar (item No.15), dan meluruskan tangan ke samping kanan (item No.16)
·         Rata-rata kemampuan memasukkan lengan tangan kanan sebesar 75%.
e.       Memasukkan lengan tangan kiri

Data hasil penelitian tentang kemampuan memasukkan lengan tangan kiri sesudah menggunakan backward chaining, disajikan dalam  tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12. Kemampuan memasukkan lengan tangan kiri
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
17
18
19
20
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
4
3
3
4
4
75
75
100
75
75
100
100
Jumlah
6
7
3
7
23
575
Persentase
86
100
43
100

82.14









Pada kegiatan memasukkan lengan tangan kiri, pada umumnya
·         Anak dapat menggeser telapak tangan kiri hingga ke dalam lubang baju (item No.17), membengkokkan pergelangan ke tangan kiri (item No.18), dan meluruskan lengan ke samping kiri (item No.20)
·         Anak belum dapat dan menggeser telapak tangan ke samping (item No.19)
·         Rata-rata kemampuan memasukkan lengan tangan kiri sebesar 82,14%.

f.       Memasukkan leher baju kaos ke kepala

Data hasil penelitian tentang kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala, disajikan dalam  tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala sesudah menggunakan backward chaining
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
21
22
23
24
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
3
3
3
75
75
75
75
75
75
75
Jumlah
7
3
4
7
21
525
Persentase
100
43
57
100

75









Pada umumnya anak sudah dapat melakukan:
·         Mengangkat kedua tangan ke atas kepala (item No.21), menurunkan ke bawah perlahan-lahan masuk ke leher baju kaos (item No.23) dan meluruskan tangannya ke samping (item No.24).
·         Tetapi apabila membengkokkan kedua siku ke samping leher (item No.22) dan anak tidak dapat melakukannya.
·         Rata-rata kemampuan memasukkan leher baju kaos ke kepala sebesar 75%.

g.      Memasukkan baju kaos dari awal hingga akhir

Data hasil penelitian tentang kemampuan memasukkan baju kaos dari awal hingga akhir sesudah menggunakan backward chaining, disajikan dalam  tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Kemampuan memakai baju kaos dari awal hingga akhir menggunakan backward chaining
Subjek
Nomor Item
Skor Kemampuan
% Penguasaan
25
26
27
28
LW
ER
AF
MZ
HS
AS
KR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
4
4
3
4
4
4
4
100
100
75
100
100
100
100
Jumlah
7
7
7
6
27
675
Persentase
100
100
100
86

96.43









Pada dasarnya anak sudah dapat melakukan memakai baju kaos dari awal hingga akhir, hal ini tampak pada kemampuan anak
·         Mengangkat tangannya ke atas (item No.25), mengulurkan tangan yang dominan (item No.26), mengulurkan tangan yang tidak dominan (item No.27), dan menggeser tangan ke sisi samping baju kaos (item No.28).
·         Rata-rata kemampuan anak memakai baju kaos dari awal hingga akhir rata-rata 96,43%.

3.      Perbandingan kemampuan memakai baju kaos oblong anak embisil menggunakan motode konvensional dengan menggunakan metode  backward chaining

Berdasarkan pengujian dua sampel berhubungan (paired sample T test) diperoleh t hitung = 6,930. Dengan df = 6 dan α 0,05 diperoleh t tabel 1,895. Oleh karena thitung 6,930 > dari ttabel α 0,05, df 6 = 1,895, maka Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata rerata kemampuan memakai baju kaos oblong antara anak imbesil kelas dasar III yang dilatih dengan metode konvensional dengan metode backward chaing. Jika dilihat dari skor rata-rata metode backward chaining 79,59, dan metode konvensional 62,75, maka disimpulkan bahwa metode backward chaining lebih baik (efektif) dibanding metode konvensional dalam melatih anak memakai baju kaos oblong sendiri.

4.      Pembahasan Hasil Penelitian

Dalam pembelajaran metode merupakan suatu hal yang sangat penting. Meskipun suatu materi pembelajaran yang ingin disampaikan tersusun secara sistematik dan teratur dan dilengkapi dengan berbagai media atau alat pengajaran yang cukup memadai, tanpa menggunakan metode pembelajaran yang sesuai maka tujuan pembelajaran pun tidak dapat tercapai. Sebaliknya apabila dalam pembelajaran digunakan metode yang sesuai dengan karateristik anak dan bahan pengajaran yang ingin disampaikan maka tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya dapat tercapai.
Hal tersebut dapat dilihat pada penerapan atau penggunaan metode Backward chaining dalam pengajaran memakai kaos oblong anak embesil kelas dasar III SLB C Kota Makassar, dengan rata-rata keberhasilan 79,59%; dibandingkan dengan yang menggunakan metode konvensional dengan rata-rata keberhasilan 62,75%.
Ternyata metode backward chaining ini cocok diterapkan pada anak embisil, karena mengerjakan langkah-langkah terakhir lebih dahulu, atau dilakukan dari yang termudah lebih dahulu sehingga menimbulkan rata kepuasan kepada anak.

G.    Kesimpulan dan saran
1.      Kesimpulan

a.       Penggunaan metode konvensional dalam memakai baju kaos oblong para anak imbisil kelas dasar III SLB C Kota Makassar, kemampuan rata-rata mencapai 62,75%.
b.      Penggunaan metode backward chaining dalam memakai baju kaos oblong para anak imbisil kelas dasar III SLB C Kota Makassar, kemampuan rata-rata mencapai 79,59%.
c.       Terdapat perbedaan yang nyata rerata kemampuan memakai baju kaos oblong antara anak imbesil kelas dasar III yang dilatih dengan metode konvensional dengan metode backward chaing.
d.      Metode backward chaining lebih baik (efektif) dibanding metode konvensional dalam melatih anak imbesil kelas dasar III SLB C Kota Makassar dalam memakai baju kaos oblong sendiri.

2.      Saran

a.       Guru dalam memberikan pembelajaran kepada anak hendaknya memilih atau menggunakan metode pembelajaran yang relevan dengan karateristik anak dan materi pengajaran. Karena dengan metode yang tepat maka tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelumnya akan mudah tercapai.
b.      Guru, khususnya yang berkecimpung dalam sekolah luar biasa terutama guru bina diri khusus anak tunagrahita hendaknya dalam pembelajaran, hendaknya dapat menggunakan metode backward chaining sebagai alternatif. Karena metode backward chaining mempunyai nilai positif terhadap perubahan tingkah laku anak imbesil terutama dalam hal memberikan rasa puas, senang dan membangkitkan percaya diri.



H.    Pustaka

Conny Semiawan. 1990. Pengenalan dan Pengembangan Bakat Sejak Dini. Jakarta: PT. Remaja Roesdakarya.

Darmingsin, Sunaryati Imban, 1985. Pembuatan Busana Bayi dan Anak. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendasmen.

Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.

Lynch, E.W., & Simms, B.H. 1978. Mainstreaming preschoolers: Children with mental retardation. Washington, CD: US. Government Printing Office.

Muh. Amin. 1995. Orthopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTG.

Muh. Nasir. 1983. Metode Peneltian. Darussalam: Ghalia Indonesia.

Silvianti Sumija, Tri Riyatmi. 1986. Pedoman Guru Keterampilan Khusus Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Seri Kegiatan Sehari-hari Untuk SDB Bagian C. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendasmen.

Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian suatu Pebdekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.


[1] Dosen Jurusan PLB FIP Universitas Negeri Makassar