Pages

Subscribe:

Labels

Minggu, 19 Agustus 2012

PENDIDIKAN INKLUSIF: BEBERAPA IMPLIKASI TERHADAP PENGELOLAAN SEKOLAH











Disajikan dalam
Temu Ilmiah Nasional Perkembangan Terkini dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Dunia dan di Indonesia dalam Kaitannya dengan Education For Alll
di Universitas Negeri Sebelas Maret      
Tanggal 16 - 18 Nopember 2009


 
 


Oleh : Triyanto Pristiwaluyo
Dosen PLB FIP Universitas Negeri Makassar 





Pendahuluan

Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pada dasarnya disemangati oleh seruan Internasional Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. Sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pasal 32 UUSPN Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
             Sementara itu pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi dengan pernyataan Salamanca tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education for All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Demikian juga diperkuat oleh Deklarasi tentang Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif yang dicetuskan di Bandung, 11 Agustus 2004. Pendidikan inklusif diharapkan mampu mendorong sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, terutama mereka  yang memiliki kebutuhan khusus.
            Pendidikan Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang diharapkan dapat mengakomodasi pendidikan bagi semua terutama anak-anak berkebutuhan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak lain. Walaupun demikian pendidikan inklusif secara berangsur-angsur sudah mulai diterima sebagai bagian dari upaya yang memiliki nilai strategis dalam mengembangkan kebijakan pendidikan nasional. 
            Bahasan lebih lanjut akan disampaikan uraian lebih detil tentang pendidikan inklusif, implikasi bagi pengelolaan sekolah, dan kegiatan bimbingan dan konselingnya.

Makna Pendidikan Inklusif
Apa itu inklusi atau pendidikan inklusif? Berdasarkan definisi pragmatik, inklusi adalah suatu sikap – suatu nilai dan sistem kepercayaan (belief system) – bukan suatu tindakan atau seperangkat tindakan.  Sekali diadopsi oleh suatu sekolah atau distrik sekolah, inklusi seharusnya mendorong semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh orang yang mengadopsi kata inklusi itu.  Kata include berimplikasi menjadi bagian dari sesuatu, menyatu dengan keseluruhan.   Exclude, lawan kata include, yang berarti menjauhkan, melepas, atau memisahkan. Definisi ini mulai memaknai gerakan yang tumbuh dalam membangun sekolah inklusif. Dengan mengetahui makna istilah inclusion  dan exclusion, kita semakin terbantu dalam memahami pendidikan inklusif.
      Yang sungguh menarik dapat diambil pelajaran yaitu jawaban terhadap seseorang jika dihadapkan pada kejadian hidup yang terkait dengan kondisi include dan exclude. Responden memiliki perasaan yang berbeda jika dalam kondisi include dan exclude. Jika mereka berada dalam keadaan exclude, maka perasaan yang muncul, di antaranya:   marah, terluka, frustasi, kesepian, berbeda, bingung, terpisah, inferior, tak berharga, di bawah standar, tidak diinginkan, tidak diterima, tertutup, dan malu. Sebaliknya jika mereka berada dalam kondisi include, maka perasaan yang dapat muncul, di antaranya:  bangga, aman, merasa spesial, nyaman, terhargai, percaya, bahagia, senang sekali, terpercaya, disukai, diterima, diapresiasi, didukung, dicintai,   terbuka, positif, penting, dan tanggung jawab.
            Berdasarkan gambaran emosi yang terkait dengan exclude dan include, maka nampak tak seorangpun yang menyukai di-exclude. Dengan begitu pendidikan inklusif adalah tentang merangkul semua, membuat komitmen untuk melakukan apapun yang mampu membekai setiap siswa hidup di tengah-tengah masyarakat – dan setiap warga negara dalam suatu negara yang menjunjung tinggi demokrasi – suatu hak yang tak bisa eleminasi untuk memiliki. Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi  setiap orang, bukan hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan (mis. Gifted, disability).
Inclusive education means that... schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.. (The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, para 3)

Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eksklusi baik dalam maupun dari kegiatan pendidikan. Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliput semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak  (UNESCO, 1994).
            Pendidikan inklusif berkenaan dengan memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusif bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan memilhatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, daripada suatu problem.
            Pearpoint and Forest (1992) menjelaskan nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusif adalah Penerimaan, Pemilikan, dan Komunitas atau the  ABCs (Acceptance, Belonging, and Community)  dan Membaca, Menulis, dan Hubungan atau the three Rs (Reading, Writing, and Relationships).  Sekolah inklusif menilai interdependence sama pentingnya dengan independence. Sekolah inklusif menilai siswa, staf, guru, dan orangtua sebagai suatu komunitas pembelajar. Suatu sekolah inklusif memandang setiap anak adalah gifted. Sekolah inklusif menghargai semua jenis keragaman sebagai suatu kesempatan untuk belajar tentang apa yang membuat kita sebagai manusia. Inklusi menfokuskan pada bagaimana mendukung keberbakatan dan  kebutuhan tertentu dari setiap anak di dalam komunitas sekolah untuk merasa tersambut dan aman serta menjadi sukses.
            Asumsi lain yang mendasari sekolah inklusif adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang baik, yang setiap anak dapat belajar, diberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan aktivitas yang  bermakna. Sekolah inklusif mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan mengajar dan belajar yang baik.
            Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas regular, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya. Pendidikan inklusif memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat.  Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusif berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus. Yang pada gilirannya bahwa pendidikan inklusif merupakan strategi yang efektif bagi pensuksesan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Implikasi bagi Pengelolaan sekolah
Berdasarkan filosofi dan makna pendidikan inklusif, Ford, A., R. Schnorr, L. Meyer, L. Davern, J. Black, and P. Dempsey. (1989) menegaskan bahwa ada beberapa prinsip pendidikan inklusif, di antaranya:
  • Mendidik semua anak yang berkebutuhan khusus dalam ruang kelas reguler tanpa memperdulikan jenis kelainannya.
  • Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua siswa untuk belajar dari setiap kontribusinya.
  • Memberikan layanan yang diperlukan di sekolah-sekolah reguler.
  • Memberikan dukungan bagi guru dan administrator reguler (misalnya dengan memberikan waktu, latihan, sumber-sumber teamwork dan strateginya).
  • Memungkinkan siswa yang berkebutuhan khusus mengikuti jadwal yang sama seperti siswa yang tak berkebutuhan khusus.
  • Melibatkan siswa yang berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas akademik dengan anak yang seusia dan kegiatan ekstrakulernya, mencakup seni, musik, senam, studi lapangan, dan latihan wisuda.
  • Siswa-siswa berkebutuhan khusus menggunakan kafetaria sekolah, perpustakaan, lapangan bermain, dan fasilitas lainnya bersama dengan siswa yang tak berkebutuhan khusus.
  • Mendorong persahabatan antara siswa yang berkebutuhan khusus dan tak berkebutuhan khusus. 
  • Siswa berkebutuhan khusus menerima pendidikan dan latihan kerjanya di dalam lingkungan masyarakat pada umumnya jika perlu.
  • Mengajar semua anak untuk memahami dan menerima perbedaan manusia.
  • Menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah yang sama dengan anak yang tak berkebutuhan khusus.
  • Meminta kepedulian orangtua secara serius.
  • Memberikan suatu program pendidikan yang berdiferensiasi yang sesuai.

Bertitik dari beberapa prinsip itulah, maka dapat dirumuskan sejumlah implikasi pengelolaan sekolah sebagai berikut:
1) Peserta didik  
Pendidikan inklusif memungkinkan bisa mengakomodasi semua anak untuk dapat mengakses pendidikan di sekolah reguler, tanpa memandang kondisi dan keterbatasan yang dimilikinya, baik berkenaan dengan kelainan (kekhususan), jenis kelamin, asal daerah, dan sebagainya. Lebih utamanya, bahwa anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya tidak memiliki hambatan yang berarti untuk mengakses pendidikan di sekolah reguler.

2) Kurikulum atau program pendidikan
Kurikulum  atau program pendidikan bagi semua peserta didik, termasuk juga anak berkebutuhan khusus akan memiliki efektivitas yang tinggi, manakala pada tataran implementasinya memiliki fleksibilitas sehingga dapat diterapkan bagi siapapun yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang unik. Dengan demikian Individualized Educational Programs (IEP) merupakan pendekatan yang memiliki relevansi dan efektivitas yang tinggi. Selain program akademik, maka untuk mencapai tujuan institusional yang komprehensif sangatlah dibutuhkan layanan bimbingan dan konseling yang memadai sehingga dapat menjadikan peserta didik dapat mencapai kematangan personal, sosial, dan karir.

3) Pendidik dan Tenaga Kependidikan  
Untuk mencapai kesuksesan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan, terutama guru dan guru pendidikan khusus memiliki arti yang sangat penting. Tentu saja guru yang diharapkan sekali adalah guru yang mampu memahami perbedaan individu dan memiliki kecakapan profesional yang diwujudkan dengan kemampuan mengembangkan materi dan menggunakan metodologi yang relevan dengan kepentingan kegiatan pendidikan dan instruksional.

4) Sarana-Prasarana  
Keberadaan dan pengadaan sarana dan prasarana merupakan sutau komponen yang sangat penting, terlebih-lebih bagi anak berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana yang memiliki produktivitas yang tinggi adalah yang mampu menfasilitasi terjadainya kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang mengasikkan dan menyenangkan, di samping sarana dan prasarana yang dapat diakses (accesable) oleh peserta didik dalam kondisi apapun.
  
5) Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang penting dari suatu proses pendidikan dan pembelajaran. Evaluasi dalam pendidikan inklusif diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti, terutama mampu mendorong (encourage) peserta untuk maju, bukan lagi sebaliknya bahwa penerapan evaluasi justru mematikan semangat untuk belajar. Evaluasi yang demikian diharpkan lebih bersifat apresiatif daripada judgmental.

6) Pengawasan
Pengawasan pada dasarnya memiliki kedudukan yang strategis dalam mengantar institusi dan personnil pendidikan dalam mencapai kinerja yang memenuhi standar pelayanan minimal. Dalam konteks penerapan pendidikan inklusif, pengawasan perlu terus dilakukan secara kontinyu yang lebih diorientasikan kepada pengawasan kinerja daripada pengawasan administratif. Dengan demikian pengawas pendidikan perlu memiliki wawasan tentang ragam peserta didik berkebutuhan khusus.  

7)  Partisipasi masyarakat.
Untuk menjamin keberlangsungan implementasi pendidikan inklusif, sangatlah diperlukan partisipasi masyarakat dari berbagai pihak terutama orangtua, organisasi profesi, dan para ahli, sehingga beban penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijangkau dengan mudah. Tanpa partisipasi masyarakat yang memadai, kiranya penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak akan mampu menunjukkan hasil yang optimal.


Implikasi bagi Layanan Bimbingan dan Konseling
Pendidikan inklusif pada hakekarnya membangun sistem yang menfasilitasi semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk belajar bersama dengan dilakukan modifikasi isi, metode, media, lingkungan dan interaksinya. Kondisi yang demikian memiliki beberapa implikasi bagi layanan bimbingan dan konseling.
            Pertama, disadari bahwa man is unique. Artinya bahwa setiap individu itu memiliki keunikan karakteristik dan kebutuhan, terlebih-lebih anak berkebutuhan khusus. Ketika anak berkebutuhan khusus dilayani dengan sistem pendidikan inklusif, maka secara obyektif anak berkebutuhan khusus di samping memiliki keunikannya itu mereka diduga juga akan menghadapi beberapa persoalan, di antaranya: salah suai (maladjustmant), berprestasi kurang (underachiever) karena memiliki hambatan untuk berekspresi, memiliki harga diri rendah (low self esteem) karena bersaing dengan normal, merasa ditolak (rejected) karena sering terjadi banyak orang tidak welcome kehadiran anak cacat, dan bahkan merasa termanjakan (overprotective) karena ada juga beberapa orang menunjukkan perasaan pilantropis terhadap kecacatan.
            Untuk menghadapi persoalan-persoalan itu anak berkebutuhan khusus ada yang mampu menghadapi sendiri, ada juga yang membutuhkan bantuan bimbingan dan konseling, baik yang terkait dengan upaya pemecahan masalah, pencegahan timbulnya masalah, maupun upaya pengembangan diri. Dengan bantuan layanan bimbingan dan konseling, setidak-tidaknya anak berbatuan khusus tidak hanya mampu adaptif terhadap lingkungan (well-adaptive)  terutama di tengah-tengah anak kehidupan reguler, melainkan juga mampu menuju aktualisasi diri (self-actualization).
            Kedua,  bahwa layanan BK yang terutama dibutuhkan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif adalah layanan bimbingan personal-sosial dan akademik. Layanan bimbingan personal-sosial lebih diorientasikan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mencapai kesadaran diri, realisasi diri, dan aktualisasi diri, di samping yang juga sama pentingnya adalah untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam membangun kemampun penyesuaian diri (well-adjusted), karena mereka hidup di tengah-tengah mayoritas orang yang berbeda dengan dirinya. Selain daripada itu layanan bimbingan akademik yang diorientasikan kepada layanan bimbingan yang memberikan fasilitasi dalam pengembangan akademik, karena dengan keterbatasannya seringkali mereka mengalami hambatan dalam mengekspresikan ide-ide dan kemampuannya. Dengan bimbingan belajar dan akademik, mereka akan mudah menunjukkan kemampuan akademiknya secara optimal.
            Ketiga, untuk mengefektifkan layanan BK bagi anak berkebutuhan khusus, kiranya tepat sekali bila di samping   dilakukan dengan bentuk model bimbingan konvensional, yaitu dengan melakukan layanan bimbingan dan konseling langsung kepada  anak berkebutuhan khusus sendiri, apakah melalui `konseling individual maupun bimbingan kelompok, maka dapat dilakukan juga dengan peer counseling terutama anak-anak yang berusia remaja, dan konseling multikultural karena anak-anak berada pada individu yang sangat beragam karkateristiknya. Selain daripada bahwa layanan konseling yang sangat dibutuhkan anak berkebutuhan khusus adalah parent counseling, yaitu konseling yang diberikan kepada orangtua sebagai pendamping anak dalam waktu yang lebih lama di rumah.
            Keempat, layanan bimbingan dan konseling yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus dalam program pendidikan inklusif dipandang memiliki efektivitas tinggi jika dilakukan pada awal tahun ajaran terutama untuk kepentingan tindakan preventif dan penyesuaian dengan lingkungan; pada saat menghadapi masalah terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah serius yang tidak mampu diselesaikan sendiri; pada saat proses pendidikan berlangsung, terutama bagi yang membutuhkan bantuan untuk pengembangan diri; dan saat liburan terutama dilakukan dengan outbound activities melalui berbagai permainan yang dimaksudkan untuk pengembangan kecakapan diri, sosial, dan moral.
            Kelima, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus idealnya  seharusnya dilakukan oleh konselor yang benar-benar menguasai karakteristik fisik, mental, sosial, kognitif, dan afektif (moral) anak berkebutuhan khusus dan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Jika tidak ada konselor di sekolah itu, maka guru pendidikan khusus diharapkan mampu memainkan peran konselor dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus.
             

Penutup
Pendidikan inklusif sebagai suatu kecenderungan baru dalam sistem pendidikan hadir sebagai konsekuensi logis dari adanya demokrasi pendidikan dan tegaknya hak asasi manusia di seluruh dunia. Pendidikan inklusif  semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education For All dideklarasikan. 
            Pendidikan inklusif berimplikasi terhadap sistem persekolahan yang dapat dilihat melalui adanya modifikasi kurikulum dan program pendidikan, metode pembelajaran, media, lingkungan, bahkan sistem evaluasinya, sehingga keberadaan anak berkebutuhan khusus merasa mendapatkan tempat dan layanan pendidikan yang sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhannya. Demikian juga, implementasi pendidikan inklusif menuntut model layanan bimbingan dan konseling yang efektif sehingga berhasil membawa misinya untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus secara optimal.


Daftar Pustaka

Brameld, T. (1956). Toward a Reconstructed Philosophy of Education. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Choate, J.S., and S. Evans. (1992). "Authentic Assessment of Special Learners: Problem or Promise?" Preventing School Failure 37, 1: 6–9.
Dutton, D.H., and D.L. Dutton. (1990). "Technology to Support Diverse Needs in Regular Classes." In Support Networks for Inclusive Schooling: Interdependent Integrated Education, edited by W. Stainback and S. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Falvey, M.A. (1989). Community Based Curriculum: Instructional Strategies for Students with Severe Handicaps. Baltimore: Paul H. Brookes.
Fullan, M. (1993). "Innovative Reform and Restructuring Strategies." In Challenges and Achievements of American Education, edited by G. Cawelti.
Grant, C., and C. Sleeter. (1989). "Race, Class, Gender, Exceptionality, and Educational Reform." In Multicultural Education: Issues and Perspectives, edited by J. Banks and C. McGee Banks. Boston: Allyn and Bacon.
McLaughlin, M., and S. Warren. (1992). Issues and Options in Restructuring Schools and Special Education Programs. College Park: University of Maryland, The Center for Policy Options in Special Education, and the Institute for the Study of Exceptional Children and Youth.
Pearpoint, J., and M. Forest. (1992). "Foreword." In Curriculum Considerations in Inclusive Classrooms: Facilitating Learning for All Students (pp. xv–xviii), edited by S. Stainback and W. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Sapon-Shevin, M., B.J. Ayres, and J. Duncan. (1994). "Cooperative Learning and Inclusion." In Creativity and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers, edited by J. Thousand, R. Villa, and A. Nevin. Baltimore: Paul H. Brookes.
Silverman, L.K. Ed. (1993), Counseling the Gifted & Talented, Denver: Love Publishing Company
Villa, R., and J. Thousand. (1992). "Student Collaboration: An Essential for Curriculum Delivery in the 21st Century." In Curriculum Considerations in Inclusive Classrooms: Facilitating Learning for All Students, edited by S. Stainback and W. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar