Disajikan dalam
Temu Ilmiah Nasional Perkembangan Terkini dalam Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus di Dunia dan di Indonesia dalam Kaitannya dengan Education
For Alll
di
Universitas Negeri Sebelas Maret
Tanggal 16 - 18 Nopember 2009
Oleh : Triyanto Pristiwaluyo
Dosen PLB FIP Universitas Negeri Makassar
Pendahuluan
Kebijakan pemerintah dalam
penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pada dasarnya disemangati
oleh seruan Internasional Education for All (EFA) yang dikumandangkan
UNESCO. Sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar,
Sinegal tahun 2000, bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa pasal 31 Undang-undang Dasar 1945
tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pasal 32 UUSPN
Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Sementara itu pemerataan kesempatan belajar
bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi dengan pernyataan Salamanca tahun 1994.
Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education for All dengan
mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk
menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Demikian juga diperkuat oleh
Deklarasi tentang Indonesia Menuju
Pendidikan Inklusif yang dicetuskan di Bandung,
11 Agustus 2004. Pendidikan inklusif diharapkan mampu mendorong
sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Pendidikan
Inklusif merupakan wadah yang sangat ideal, yang diharapkan dapat mengakomodasi
pendidikan bagi semua terutama anak-anak berkebutuhan khusus yang
selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan sebagaimana
layaknya anak-anak lain. Walaupun demikian pendidikan inklusif secara
berangsur-angsur sudah mulai diterima sebagai bagian dari upaya yang memiliki
nilai strategis dalam mengembangkan kebijakan pendidikan nasional.
Bahasan
lebih lanjut akan disampaikan uraian lebih detil tentang pendidikan inklusif,
implikasi bagi pengelolaan sekolah, dan kegiatan bimbingan dan konselingnya.
Makna Pendidikan Inklusif
Apa itu inklusi atau pendidikan inklusif? Berdasarkan definisi pragmatik, inklusi
adalah suatu sikap – suatu nilai dan sistem kepercayaan (belief system) – bukan suatu tindakan
atau seperangkat tindakan. Sekali
diadopsi oleh suatu sekolah atau distrik sekolah, inklusi seharusnya mendorong
semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh orang yang mengadopsi kata
inklusi itu. Kata include berimplikasi menjadi bagian dari sesuatu, menyatu
dengan keseluruhan. Exclude,
lawan kata include, yang berarti menjauhkan, melepas, atau memisahkan. Definisi
ini mulai memaknai gerakan yang tumbuh dalam membangun sekolah inklusif. Dengan
mengetahui makna istilah inclusion dan exclusion, kita semakin terbantu dalam memahami pendidikan inklusif.
Yang sungguh
menarik dapat diambil pelajaran yaitu jawaban terhadap seseorang jika
dihadapkan pada kejadian hidup yang terkait dengan kondisi include dan exclude.
Responden memiliki perasaan yang berbeda jika dalam kondisi include dan exclude. Jika mereka berada dalam keadaan exclude, maka perasaan yang muncul, di
antaranya: marah, terluka, frustasi, kesepian, berbeda,
bingung, terpisah, inferior, tak berharga, di bawah standar, tidak diinginkan,
tidak diterima, tertutup, dan malu. Sebaliknya jika mereka berada dalam
kondisi include, maka perasaan yang dapat muncul, di antaranya: bangga,
aman, merasa spesial, nyaman, terhargai, percaya, bahagia, senang sekali,
terpercaya, disukai, diterima, diapresiasi, didukung, dicintai, terbuka, positif, penting, dan tanggung
jawab.
Berdasarkan
gambaran emosi yang terkait dengan exclude
dan include, maka nampak tak
seorangpun yang menyukai di-exclude. Dengan
begitu pendidikan inklusif adalah tentang merangkul semua, membuat komitmen
untuk melakukan apapun yang mampu membekai setiap siswa hidup di tengah-tengah
masyarakat – dan setiap warga negara dalam suatu negara yang menjunjung tinggi demokrasi
– suatu hak yang tak bisa eleminasi untuk memiliki. Inklusi berasumsi bahwa
hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan
keuntungan bagi setiap orang, bukan
hanya anak-anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan (mis. Gifted, disability).
Inclusive education means that... schools should
accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social,
emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and
gifted children, street and working children, children from remote or nomadic
populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and
children from other disadvantaged or marginalised areas or groups.. (The
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, para
3)
Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses
untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua individu melalui peningkatan
partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eksklusi baik
dalam maupun dari kegiatan pendidikan. Inklusi melibatkan perubahan dan
modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama
yang meliput semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu
keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik
semua anak (UNESCO, 1994).
Pendidikan
inklusif berkenaan dengan memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang
luas dari kebutuhan belajar baik dalam
setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan
pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan
sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusif bertujuan dapat
memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan
memilhatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan
belajar, daripada suatu problem.
Pearpoint and Forest (1992) menjelaskan
nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusif adalah Penerimaan,
Pemilikan, dan Komunitas atau the ABCs
(Acceptance, Belonging, and Community) dan Membaca, Menulis, dan Hubungan atau the
three Rs (Reading, Writing, and Relationships). Sekolah inklusif menilai interdependence
sama pentingnya dengan independence. Sekolah inklusif
menilai siswa, staf, guru, dan orangtua sebagai suatu komunitas pembelajar. Suatu
sekolah inklusif memandang setiap anak adalah gifted. Sekolah inklusif menghargai semua jenis keragaman sebagai
suatu kesempatan untuk belajar tentang apa yang membuat kita sebagai manusia. Inklusi
menfokuskan pada bagaimana mendukung keberbakatan dan kebutuhan tertentu dari setiap anak di dalam
komunitas sekolah untuk merasa tersambut dan aman serta menjadi sukses.
Asumsi lain yang mendasari sekolah
inklusif adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang baik, yang
setiap anak dapat belajar, diberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan
aktivitas yang bermakna. Sekolah inklusif
mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal
dengan mengajar dan belajar yang baik.
Akhirnya
dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu proses pendidikan yang
memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam
kegiatan kelas regular, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik
lainnya. Pendidikan inklusif memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman,
sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang
ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusif
berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan
segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus. Yang pada gilirannya
bahwa pendidikan inklusif merupakan strategi yang efektif bagi pensuksesan
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Implikasi bagi Pengelolaan sekolah
Berdasarkan filosofi dan
makna pendidikan inklusif, Ford, A., R. Schnorr, L. Meyer, L. Davern, J. Black, and
P. Dempsey. (1989) menegaskan bahwa ada beberapa
prinsip pendidikan inklusif, di antaranya:
- Mendidik semua anak yang berkebutuhan khusus dalam ruang kelas reguler tanpa memperdulikan jenis kelainannya.
- Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua siswa untuk belajar dari setiap kontribusinya.
- Memberikan layanan yang diperlukan di sekolah-sekolah reguler.
- Memberikan dukungan bagi guru dan administrator reguler (misalnya dengan memberikan waktu, latihan, sumber-sumber teamwork dan strateginya).
- Memungkinkan siswa yang berkebutuhan khusus mengikuti jadwal yang sama seperti siswa yang tak berkebutuhan khusus.
- Melibatkan siswa yang berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas akademik dengan anak yang seusia dan kegiatan ekstrakulernya, mencakup seni, musik, senam, studi lapangan, dan latihan wisuda.
- Siswa-siswa berkebutuhan khusus menggunakan kafetaria sekolah, perpustakaan, lapangan bermain, dan fasilitas lainnya bersama dengan siswa yang tak berkebutuhan khusus.
- Mendorong persahabatan antara siswa yang berkebutuhan khusus dan tak berkebutuhan khusus.
- Siswa berkebutuhan khusus menerima pendidikan dan latihan kerjanya di dalam lingkungan masyarakat pada umumnya jika perlu.
- Mengajar semua anak untuk memahami dan menerima perbedaan manusia.
- Menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah yang sama dengan anak yang tak berkebutuhan khusus.
- Meminta kepedulian orangtua secara serius.
- Memberikan suatu program pendidikan yang berdiferensiasi yang sesuai.
Bertitik dari beberapa prinsip itulah, maka dapat dirumuskan sejumlah
implikasi pengelolaan sekolah sebagai berikut:
1) Peserta didik
Pendidikan inklusif memungkinkan bisa mengakomodasi
semua anak untuk dapat mengakses pendidikan di sekolah reguler, tanpa memandang
kondisi dan keterbatasan yang dimilikinya, baik berkenaan dengan kelainan
(kekhususan), jenis kelamin, asal daerah, dan sebagainya. Lebih utamanya, bahwa
anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya tidak memiliki hambatan yang berarti untuk
mengakses pendidikan di sekolah reguler.
2) Kurikulum atau program pendidikan
Kurikulum atau program pendidikan bagi semua peserta
didik, termasuk juga anak berkebutuhan khusus akan memiliki efektivitas yang
tinggi, manakala pada tataran implementasinya memiliki fleksibilitas sehingga
dapat diterapkan bagi siapapun yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang unik.
Dengan demikian Individualized
Educational Programs (IEP)
merupakan pendekatan yang memiliki relevansi dan efektivitas yang tinggi.
Selain program akademik, maka untuk mencapai tujuan institusional yang
komprehensif sangatlah dibutuhkan layanan bimbingan dan konseling yang memadai
sehingga dapat menjadikan peserta didik dapat mencapai kematangan personal,
sosial, dan karir.
3) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Untuk mencapai kesuksesan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, keberadaan pendidik dan tenaga
kependidikan, terutama guru dan guru pendidikan khusus memiliki arti yang
sangat penting. Tentu saja guru yang diharapkan sekali adalah guru yang mampu
memahami perbedaan individu dan memiliki kecakapan profesional yang diwujudkan
dengan kemampuan mengembangkan materi dan menggunakan metodologi yang relevan
dengan kepentingan kegiatan pendidikan dan instruksional.
4) Sarana-Prasarana
Keberadaan dan pengadaan sarana dan prasarana
merupakan sutau komponen yang sangat penting, terlebih-lebih bagi anak
berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana yang memiliki produktivitas yang
tinggi adalah yang mampu menfasilitasi terjadainya kegiatan pendidikan dan
pembelajaran yang mengasikkan dan menyenangkan, di samping sarana dan prasarana
yang dapat diakses (accesable) oleh
peserta didik dalam kondisi apapun.
5) Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang penting dari
suatu proses pendidikan dan pembelajaran. Evaluasi dalam pendidikan inklusif
diharapkan mampu memberikan kontribusi yang berarti, terutama mampu mendorong
(encourage) peserta untuk maju, bukan lagi sebaliknya bahwa penerapan evaluasi
justru mematikan semangat untuk belajar. Evaluasi yang demikian diharpkan lebih
bersifat apresiatif daripada judgmental.
6) Pengawasan
Pengawasan pada dasarnya memiliki kedudukan
yang strategis dalam mengantar institusi dan personnil pendidikan dalam
mencapai kinerja yang memenuhi standar pelayanan minimal. Dalam konteks
penerapan pendidikan inklusif, pengawasan perlu terus dilakukan secara kontinyu
yang lebih diorientasikan kepada pengawasan kinerja daripada pengawasan
administratif. Dengan demikian pengawas pendidikan perlu memiliki wawasan
tentang ragam peserta didik berkebutuhan khusus.
7) Partisipasi
masyarakat.
Untuk menjamin keberlangsungan implementasi pendidikan
inklusif, sangatlah diperlukan partisipasi masyarakat dari berbagai pihak
terutama orangtua, organisasi profesi, dan para ahli, sehingga beban
penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijangkau dengan mudah. Tanpa
partisipasi masyarakat yang memadai, kiranya penyelenggaraan pendidikan
inklusif tidak akan mampu menunjukkan hasil yang optimal.
Implikasi bagi Layanan Bimbingan dan Konseling
Pendidikan
inklusif pada hakekarnya membangun sistem yang menfasilitasi semua anak,
termasuk anak berkebutuhan khusus, untuk belajar bersama dengan dilakukan
modifikasi isi, metode, media, lingkungan dan interaksinya. Kondisi yang
demikian memiliki beberapa implikasi bagi layanan bimbingan dan konseling.
Pertama,
disadari bahwa man is unique. Artinya
bahwa setiap individu itu memiliki keunikan karakteristik dan kebutuhan,
terlebih-lebih anak berkebutuhan khusus. Ketika anak berkebutuhan khusus
dilayani dengan sistem pendidikan inklusif, maka secara obyektif anak
berkebutuhan khusus di samping memiliki keunikannya itu mereka diduga juga akan
menghadapi beberapa persoalan, di antaranya: salah suai (maladjustmant), berprestasi kurang (underachiever) karena memiliki hambatan untuk berekspresi,
memiliki harga diri rendah (low self
esteem) karena bersaing dengan normal, merasa ditolak (rejected) karena sering terjadi banyak orang tidak welcome
kehadiran anak cacat, dan bahkan merasa termanjakan (overprotective) karena ada juga beberapa orang menunjukkan
perasaan pilantropis terhadap kecacatan.
Untuk menghadapi persoalan-persoalan
itu anak berkebutuhan khusus ada yang mampu menghadapi sendiri, ada juga yang
membutuhkan bantuan bimbingan dan konseling, baik yang terkait dengan upaya
pemecahan masalah, pencegahan timbulnya masalah, maupun upaya pengembangan
diri. Dengan bantuan layanan bimbingan dan konseling, setidak-tidaknya anak
berbatuan khusus tidak hanya mampu adaptif terhadap lingkungan (well-adaptive) terutama di tengah-tengah anak kehidupan reguler,
melainkan juga mampu menuju aktualisasi diri (self-actualization).
Kedua, bahwa layanan BK yang terutama dibutuhkan
bagi anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan inklusif adalah layanan
bimbingan personal-sosial dan akademik. Layanan bimbingan personal-sosial lebih
diorientasikan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mencapai kesadaran
diri, realisasi diri, dan aktualisasi diri, di samping yang juga sama
pentingnya adalah untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam membangun
kemampun penyesuaian diri (well-adjusted),
karena mereka hidup di tengah-tengah mayoritas orang yang berbeda dengan
dirinya. Selain daripada itu layanan bimbingan akademik yang diorientasikan
kepada layanan bimbingan yang memberikan fasilitasi dalam pengembangan
akademik, karena dengan keterbatasannya seringkali mereka mengalami hambatan
dalam mengekspresikan ide-ide dan kemampuannya. Dengan bimbingan belajar dan
akademik, mereka akan mudah menunjukkan kemampuan akademiknya secara optimal.
Ketiga,
untuk mengefektifkan layanan BK bagi anak berkebutuhan khusus, kiranya tepat
sekali bila di samping dilakukan dengan bentuk model bimbingan
konvensional, yaitu dengan melakukan layanan bimbingan dan konseling langsung
kepada anak berkebutuhan khusus sendiri,
apakah melalui `konseling individual maupun bimbingan kelompok, maka dapat
dilakukan juga dengan peer counseling terutama
anak-anak yang berusia remaja, dan konseling multikultural karena anak-anak
berada pada individu yang sangat beragam karkateristiknya. Selain daripada
bahwa layanan konseling yang sangat dibutuhkan anak berkebutuhan khusus adalah parent counseling, yaitu konseling yang
diberikan kepada orangtua sebagai pendamping anak dalam waktu yang lebih lama
di rumah.
Keempat,
layanan bimbingan dan konseling yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus
dalam program pendidikan inklusif dipandang memiliki efektivitas tinggi jika
dilakukan pada awal tahun ajaran terutama untuk kepentingan tindakan preventif
dan penyesuaian dengan lingkungan; pada saat menghadapi masalah terutama bagi
anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah serius yang tidak mampu
diselesaikan sendiri; pada saat proses pendidikan berlangsung, terutama bagi
yang membutuhkan bantuan untuk pengembangan diri; dan saat liburan terutama
dilakukan dengan outbound activities melalui
berbagai permainan yang dimaksudkan untuk pengembangan kecakapan diri, sosial,
dan moral.
Kelima,
layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus idealnya seharusnya dilakukan oleh konselor yang
benar-benar menguasai karakteristik fisik, mental, sosial, kognitif, dan
afektif (moral) anak berkebutuhan khusus dan faktor penting yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya. Jika tidak ada konselor di sekolah itu, maka
guru pendidikan khusus diharapkan mampu memainkan peran konselor dalam
memberikan pelayanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus.
Penutup
Pendidikan inklusif sebagai suatu
kecenderungan baru dalam sistem pendidikan hadir sebagai konsekuensi logis dari
adanya demokrasi pendidikan dan tegaknya hak asasi manusia di seluruh dunia.
Pendidikan inklusif semakin menjadi
penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education For All dideklarasikan.
Pendidikan
inklusif berimplikasi terhadap sistem persekolahan yang dapat dilihat melalui
adanya modifikasi kurikulum dan program pendidikan, metode pembelajaran, media,
lingkungan, bahkan sistem evaluasinya, sehingga keberadaan anak berkebutuhan
khusus merasa mendapatkan tempat dan layanan pendidikan yang sesuai dengan apa
yang menjadi kebutuhannya. Demikian juga, implementasi pendidikan inklusif
menuntut model layanan bimbingan dan konseling yang efektif sehingga berhasil
membawa misinya untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak berkebutuhan
khusus secara optimal.
Daftar Pustaka
Brameld, T. (1956). Toward a
Reconstructed Philosophy of Education. New York: Holt, Rinehart, and
Winston.
Choate, J.S., and S. Evans. (1992).
"Authentic Assessment of Special Learners: Problem or Promise?" Preventing
School Failure 37, 1: 6–9.
Dutton, D.H., and D.L. Dutton.
(1990). "Technology to Support Diverse Needs in Regular Classes." In Support
Networks for Inclusive Schooling: Interdependent Integrated Education,
edited by W. Stainback and S. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Falvey, M.A. (1989). Community
Based Curriculum: Instructional Strategies for Students with Severe Handicaps.
Baltimore: Paul H. Brookes.
Fullan, M. (1993). "Innovative
Reform and Restructuring Strategies." In Challenges and Achievements of
American Education, edited by G. Cawelti.
Grant, C., and C. Sleeter. (1989).
"Race, Class, Gender, Exceptionality, and Educational Reform." In Multicultural
Education: Issues and Perspectives, edited by J. Banks and C. McGee Banks.
Boston: Allyn and Bacon.
McLaughlin, M., and S. Warren.
(1992). Issues and Options in Restructuring Schools and Special Education
Programs. College Park: University of Maryland, The Center for Policy Options
in Special Education, and the Institute for the Study of Exceptional Children
and Youth.
Pearpoint, J., and M. Forest.
(1992). "Foreword." In Curriculum Considerations in Inclusive
Classrooms: Facilitating Learning for All Students (pp. xv–xviii), edited
by S. Stainback and W. Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Sapon-Shevin, M., B.J. Ayres, and J.
Duncan. (1994). "Cooperative Learning and Inclusion." In Creativity
and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and
Teachers, edited by J. Thousand, R. Villa, and A. Nevin. Baltimore: Paul H.
Brookes.
Silverman, L.K. Ed. (1993), Counseling the Gifted & Talented,
Denver: Love Publishing Company
Villa, R., and J. Thousand. (1992).
"Student Collaboration: An Essential for Curriculum Delivery in the 21st
Century." In Curriculum Considerations in Inclusive Classrooms:
Facilitating Learning for All Students, edited by S. Stainback and W.
Stainback. Baltimore: Paul H. Brookes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar